Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Bio-Kristi
You are hereAtlet Kristen / Eric Henry Liddell
Eric Henry Liddell
Dia dikenal sebagai "ibu gerakan hak sipil modern" di Amerika. Ia mulai mendapat reputasi tersebut pada 1 Desember 1955, ketika Rosa (42 tahun), seorang penjahit wanita dari Montgomery, Alabama, menaiki sebuah bis dan duduk di bangku untuk orang kulit putih. Peraturan kota tidak hanya melarang orang kulit hitam duduk di kursi baris depan dalam suatu bis, tetapi juga mengharuskan mereka untuk memberikan kursinya kepada orang kulit putih yang berdiri di dekatnya. Bagian depan bis sudah penuh dan sopir bus yang berkulit putih menyuruh Parks memberikan kursinya kepada seorang kulit putih. Parks tetap diam saja. "Saya sudah ditindas sejauh saya bisa bertahan," tulisnya kemudian. Sopir bis itu memanggil polisi, dan Parks ditahan saat itu juga. Dia tidak mencoba memulai suatu gerakan; dia hanya sudah lelah dengan ketidakadilan sosial dan tidak berpikiran bahwa seorang wanita seharusnya dipaksa berdiri sehingga seorang pria bisa duduk. Tetapi tindakan kecilnya yang berani itu menjadi awal dari rangkaian peristiwa yang selamanya mengubah susunan relasi ras di Amerika.
Dalam bukunya yang berjudul Quite Strength, Rosa mengatakan, "Setelah bertahun-tahun berada di bawah tekanan dan menjadi korban dari perlakuan yang tidak adil terhadap kaumku, tidak memberikan kursiku -- dan apa pun yang harus saya hadapi setelah tidak mau memberikan kursi -- bukanlah hal yang penting. Saya tidak takut duduk di kursi yang saya duduki. Yang saya rasakan hanyalah lelah. Lelah ditindas. Lelah melihat perlakuan buruk dan tidak hormat kepada anak-anak, wanita, dan pria hanya karena warna kulit mereka .... Saya benar-benar lelah."
Rosa telah aktif di NAACP (National Association for the Advancement of Colored People/Asosiasi Nasional Perkembangan Orang Kulit Hitam) setempat. Setelah penahanannya, para pemimpin orang Afrika-Amerika segera bersatu dengannya. Mereka merencanakan untuk memboikot bis pada 5 Desember, hari persidangan Rosa. Rosa dinyatakan bersalah. Boikot sehari pun berlanjut menjadi 381 hari. Dengan menolak ketidakadilan, Rosa telah memicu salah satu unjuk rasa paling dramatis tanpa kekerasan dalam sejarah relasi antarras di Amerika.
Populasi Montgomery kira-kira 48 ribu orang. Di antaranya adalah orang Afrika-Amerika yang mulai unjuk rasa dan disertai simpatisan dari orang-orang kulit putih. Seorang pendeta setempat yang berusia 27 tahun, Martin Luther King Jr., menjadi juru bicara pada boikot tersebut. Dia berbicara, mengadakan pertemuan di gereja-gereja, dan mengubah lagu himne lama menjadi "lagu-lagu kebebasan". Pidato King menarik perhatian media nasional. Dia menyuarakan perpaduan perlawanan pasif dan doktrin Kristen tentang kasih untuk membuat suatu bentuk protes tanpa kekerasan yang dia sebut Kekristenan dalam Tindakan (Christianity in Action). Rosa Parks mengiyakan, "Dr. King adalah seorang pemimpin yang sebenarnya .... Pengorbanan hidupnya seharusnya tidak pernah dilupakan dan mimpinya harus diwujudkan."
Pada saat itu, 90 persen penumpang bus yang berkulit hitam berjalan, menyewa mobil, atau bersepeda ke tempat tujuan mereka. Terjadi kebakaran di mana-mana, kekerasan polisi, dan percobaan untuk konspirasi. King sendiri dipenjara dua kali karena berkonspirasi untuk mengatur suatu boikot ilegal dan pelanggaran lalu lintas kecil. Orang-orang kulit hitam terus berunjuk rasa, King mendorong agar mereka memberikan "pipi mereka yang lain". Dia berkata kepada para pengikutnya bahwa mereka harus berkomitmen untuk tidak melakukan kekerasan, tidak ada baku hantam, tidak peduli betapa kuatnya hasutan. Ketika rumahnya dibom, setelah memeriksa keselamatan keluarganya, dia mengangkat tangannya. "Jangan panik," katanya kepada gerombolan orang yang telah berkumpul. "Bila kamu punya senjata, bawalah pulang. Kita ingin mengasihi musuh kita. Bersikaplah baik kepada mereka. Inilah yang harus kita tumbuhkan. Kita harus mempertemukan kebencian dengan kasih." Kerumunan orang itu membubarkan diri.
Boikot berakhir pada 27 November 1956, ketika Pengadilan Tinggi mengeluarkan aturan larangan pemisahan dalam bus. Boikot bus di Montgomery mengubah King menjadi pemimpin rohani dari semua gerakan dan menyelamatkan status penjahit wanita yang akhirnya tercatat dalam sejarah sebagai pahlawan. Pada 21 Desember 1956, Rosa Parks akhirnya secara resmi duduk di bangku depan dalam bus Montgomery.
Saat itu tahun 1955 di AS ketika Rosa Parks, dengan tantangannya secara diam-diam, tetap duduk di dalam bis. "Saya merasa Tuhan akan memberi saya kekuatan untuk memikul apa pun yang harus saya hadapi. Tuhan mengusir rasa takut saya. Inilah saatnya seseorang berdiri -- atau duduk, dalam kasus seperti saya. Saya menolak untuk pindah ...."
"Banyak orang tidak bisa merasakan perasaan frustrasi yang orang kulit hitam rasakan pada tahun 1950-an. Kami dilahirkan dan dibesarkan di Amerika, tetapi diperlakukan sebagai warga negara kelas dua. Selama bertahun-tahun, orang-orang kulit hitam menerima perlakuan seperti itu. Saya selalu merasa itu semua tidak adil. Meski kami bertahan menghadapinya, itu tidak berarti kami akan membiarkannya selamanya. Tibalah saatnya ketika kami tidak lagi dapat memberikan toleransi terhadap hal tersebut. Inilah saatnya kami mengatakan cukup. Cukup lama memang, tetapi akhirnya, sebagai kelompok, kami menuntut, "Bebaskan kami."
"Ketika kami berdiri, kami berdiri untuk semua orang yang tertekan yang datang kepada kami dan untuk generasi-generasi yang akan datang. Saya beruntung. Tuhan memberi saya kekuatan yang saya butuhkan di saat yang tepat ketika keadaan benar-benar memerlukan perubahan. Saya bersyukur kepada-Nya setiap hari karena Dia memberi saya kekuatan untuk tidak berubah. Tidak hanya gerakan hak sipil yang menolong warga kami, tetapi gerakan ini menjadi contoh agar orang-orang berjuang untuk kebebasan di dunia ini."
Kepercayaan Rosa sebagai orang Kristen telah terbentuk sejak kecil. Dia dibesarkan di daerah pedesaan selatan dan bergereja di African Methodish Episcopal (AME -- Gereja Methodis Orang Afrika) dan juga gereja Baptis. Ibunya, neneknya, dan kakeknya menggunakan Alkitab untuk mengajarkan kepadanya supaya percaya kepada Tuhan dan tidak takut. "Ibadah harian memegang peranan penting pada masa kecil saya .... Kami bahkan mengadakan kebaktian sebelum memetik kapas di ladang. Doa dan Alkitab menjadi bagian dari pikiran dan kepercayaan saya setiap hari. Pengajaran Alkitab menjadi jalan hidup dan membantu saya menghadapi masalah sehari-hari."
Rosa menunjukkan pengaruh gereja AME, di mana sepanjang hidupnya dia menjadi anggota gereja tersebut. "Denominasi itu menjadi terkenal sebagai The Freedom Church (Gereja Kebebasan) selama gerakan penghapusan diskriminasi. Gereja ini menjadi rumah rohani banyak orang kulit hitam terkemuka sepanjang sejarah sebelum munculnya hak sipil. Orang-orang itu di antaranya adalah Pendeta Richard Allen (pendiri gereja AME), Frederick Douglass, Harriet Tubman, Sojourner Truth, dan lainnya."
Rosa memimpikan dunia yang lebih baik di mana sesamanya berkumpul bersama dan hidup dalam satu kesatuan. Dia memberi perhatian kepada anak-anak dan para pemuda di dunia yang menjadi generasi penerus masa depan. Selama bertahun-tahun, dia ingin memulai suatu organisasi untuk membantu para pemuda. Keinginan itu menjadi kenyataan pada tahun 1987 ketika dia, bersama dengan Elaine Steele, mendirikan Rosa and Raymond Parks Institute for Self-Development (Institut Pengembangan Diri Rosa dan Raymond Parks) di Detroit. Organisasi ini memberikan berbagai program untuk membantu para pemuda mengejar pendidikan mereka dan menciptakan masa depan yang menjanjikan bagi diri mereka sendiri.
Ketika dia melihat ke belakang, peristiwa Desember 1955, dia mengatakan, "Saya bangga dengan kemajuan yang telah kami lakukan .... Tetapi kami masih memiliki banyak perbedaan yang harus diperdamaikan. Saya ingin kita membiarkan masa lalu berada di belakang kita dan kita hidup dalam damai dan harmoni. Kita harus berjuang untuk bebas ...." Dia mendorong orang-orang untuk memelihara kehidupan rohani mereka dan berakar dalam iman mereka sendiri. Kebijaksanaannya, keberaniannya, belas kasihnya, kerendahan hatinya, dan kekuatannya yang tenang merupakan warisan yang akan terus hidup. (t/Ratri)
Diterjemahkan dari: | ||
Judul buku | : | 100 Christian Women Who Changed The Twentieth Century |
Penulis | : | Helen Kooiman Hosier |
Penerbit | : | Fleming H. Revell, Michigan 2000 |
Halaman | : | 234 -- 237 |
Sumber: Bio-Kristi 39
- Login to post comments
- 5619 reads