Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Bio-Kristi

You are hereSastrawan / Jan Engelbert Tatengkeng

Jan Engelbert Tatengkeng


Dirangkum oleh: R.S. Kurnia

Dalam khazanah kesusastraan Indonesia, aspek religi banyak dikumandangkan dalam bentuk sajak. Ada pula Taufiq Ismail, Emha Ainun Najib, dan banyak lagi. Apalagi ketika membicarakan Pujangga Baru, tentulah orang akan teringat akan nama Amir Hamzah, Sang Raja Pujangga Baru, yang tak kalah sering menulis sajak religi. Namun, warna Kristen di kesusastraan Indonesia tidaklah banyak[1].

Meski demikian, bukan berarti tidak ada sastrawan Kristen yang pernah menghias kesusastraan negeri ini[2]. Masih satu angkatan dengan Sang Raja Pujangga Baru, tercatat pula nama J.E. Tatengkeng. Bila yang satu berasal dari Indonesia bagian barat, yang lain berasal dari Indonesia bagian timur. Hanya saja, J.E. Tatengkeng merupakan satu-satunya sastrawan yang menghadirkan nuansa kekristenan pada zamannya.

Kehidupan Sang Pujangga

Nama lengkapnya Jan Engelbert Tatengkeng. Ia dilahirkan di Kolongan, Sangihe, Sulawesi Utara, 19 Oktober 1907. Ayahnya seorang guru Injil sekaligus seorang kepala sekolah zending. Tidaklah mengherankan bila akhirnya ia terkesan memiliki latar kekristenan yang cukup kental, yang dihadirkannya dalam berbagai sajaknya.

Ia biasa dipanggil Oom Jan oleh orang-orang dekatnya, panggilan yang lazim di kalangan masyarakat. Ia mengenyam pendidikan dasarnya di sekolah Belanda, HIS, di Manganitu. Lalu melanjut ke Christelijk Middagkweekscool atau Sekolah Pendidikan Guru Kristen di Bandung, Jawa Barat. Kemudian ia melanjutkan sekolahnya ke Solo, Jawa Tengah, tepatnya di Sekolah Menengah Tinggi Pendidikan Guru Kristen.

Ketika bersekolah itulah, Tatengkeng mulai mengenal "Tachtigers"[3], sebuah aliran kesusastraan Belanda yang disebut juga sebagai Angkatan 80-an. Aliran kesusastraan inilah yang kemudian banyak memengaruhinya. Meski demikian, ia menentang pandangan Jacques Perk[4]. Bagi Tatengkeng, seni adalah seni. Seni tidak dapat dilihat sebagai Tuhan dan tidak sebaiknya dijadikan semata-mata sebagai alat. Pandangannya ini tertuang dalam tulisannya. "Penyelidikan dan Pengakuan".

Tatengkeng dan Kebenaran

Kedatangan Belanda ke Indonesia, selain membawa kekristenan, tentu juga membawa arus pemikiran yang berkembang di Barat pada masa itu. Demikianlah, kegetolannya pada aliran Tachtigers itu membuatnya dekat pula dengan alam pikiran dunia Barat. Namun semakin lama, ia meyakini bahwa di sana pun ia tidak menemukan kebenaran. Hal inilah yang konon membawanya dekat dengan alam yang baginya tetap merupakan misteri. Meskipun menyampaikan makna yang melebihi dari sekadar gambaran alam, sejumlah sajaknya tidak terlepas dari nuansa alam. Lihat saja sajak "Di Pantai, Waktu Petang". Ia merangkaikan kata demi kata dengan indah, menggambarkan ombak (baris pertama), matahari (disebutkan "syamsu", bahasa Arab, pada baris kedua), pegunungan (baris keempat dan sembilan).

Mercak-mercik ombak kecil memecah,
Gerlap-gerlip sri syamsu mengerling,
Tenang-menyenang terang cuaca,
Biru kemerahan pegunungan keliling.
Berkawan-kawan perahu nelayan,
Tinggalkan teluk masuk harungan,
Merawan-rawan lagunya nelayan,
Bayangan cinta kenang-kenangan.
Syamsu menghintai di balik gunung,
Bulan naik tersenyum simpul.
Hati pengarang renung termenung,
Memuji rasa-sajak terkumpul.
Makin alam lengang dan sunyi,
Makin merindu Sukma menyanyi

Meski demikian, ia tidak serta-merta menerima alam sebagai sumber kebenaran. Dalam perjalanan hidupnya, ia menyadari dan meyakini bahwa kebenaran itu hanya ada pada Allah semata. Ia mencari jawaban akan kebenaran yang dicarinya di berbagai tempat: di mata air, di dasar kolam, di kawanan awan, di indahnya bunga, gunung, dan bintang. Sampai ia berseru kepada Allah yang Mahatinggi. Itulah yang ia gambarkan dalam sajaknya, "Kucari Jawab" berikut ini.

Di mata air, di dasar kolam,
Kucari jawab teka-teki alam.
Di kawan awan kian kemari,
di situ juga jawabnya kucari.
Di warna bunga yang kembang.
Kubaca jawab, penghilang bimbang,
Kepada gunung penjaga waktu.
kutanya jawab kebenaran tentu,
Pada bintang lahir semula,
Kutangis jawab teka-teki Allah.
Ke dalam hati, jiwa sendiri,
Kuselam jawab! Tiada tercerai
Ya, Allah yang Maha - dalam,
Berikan jawab teka-teki alam.
0, Tuhan yang Maha - tinggi,
Kunanti jawab petang dan pagi`
Hatiku haus `kan kebenaran,
Berikan jawab di hatiku sekarang ...

Sebagian orang mungkin akan memandang karya-karyanya yang bernapaskan Kristen itu hanya didasari oleh latar belakang keluarga dan masyarakat Sulawesi yang notabene Kristen. Namun, kita perlu mempertimbangkan kenyataan bahwa Roh Kudus memang berkarya dalam diri orang-orang pilihannya. Lihatlah dalam karyanya yang berjudul "O Kata" berikut ini.

Sudah genap
O kata
Dua patah,
Yang dikata dengan nyata,
Oleh badan payah patah.
Itu kata
Ada berita,
Terbesar dari sewarta,
Karna oleh kata nyata
Tuhan menang segala titah!
Karna kata,
Aku serta
Oleh Allah diberi harta
Selamat alam semesta

Sajak di atas datang dengan pengenalan akan karya Allah dalam Yesus Kristus. Tatengkeng menggambarkan betapa Kristus mengerjakan karya keselamatan dan menyatakannya dengan jelas (baris keempat). Di tengah rasa sakit derita yang dirasakan-Nya (baris kelima). Lewat sajak tersebut, Tatengkeng berusaha menangkap makna penderitaan Kristus di salib, sekaligus hendak berkata bahwa Kristus Yesus adalah Anak Allah yang mengaruniakan keselamatan. Baris kedua belas menjadi pernyataan iman, betapa dirinya pun termasuk yang diberi belas kasihan oleh Allah.

Selain itu, kita tidak bisa menghindarkan fakta bahwa semakin kuat nilai spiritual seseorang, semakin tergambar pula hal tersebut dalam karya-karya yang dituangkannya. Meski tidak selalu demikian, ini merupakan suatu kecenderungan yang selalu hadir di setiap zaman. Tentu kita mengenal C.S. Lewis, salah seorang apologet Kristen yang ternama. Semenjak berbalik menjadi seorang Kristen, berbagai karyanya mulai diarahkan untuk memberi pernyataan dan sikap imannya. Hal ini pulalah, yang menurut hemat saya, terjadi pada Tatengkeng.

Dalam sajaknya yang lain, "Panggilan Pagi Minggu", Tatengkeng menyuarakan panggilan Ilahi bagi segenap umat.

Sedang kududuk di ruang bilik,
Bermain kembang di ujung jari,
Yang tadi pagi telah kupetik,
Akan teman sepanjang hari.

Kudengar amat perlahan,
Mendengung di ombak udara,
Menerusi daun dan dahan,
Bunyi lonceng di atas menara.

Katanya:
Kukui apang biahe,
Lulungkang u apang nate

Kupanggil yang hidup,
Kutangisi yang mati,
Pintu jiwa jangan ditutup,
Luaskan Aku masuk ke hati
Masuklah, ya, Tuhan dalam hatiku!

Meskipun berpredikat sebagai salah seorang sastrawan Pujangga Baru[4], sesungguhnya Tatengkeng juga aktif dalam bidang politik. Ia sempat pula menjabat sebagai Perdana Menteri NTT pada tahun 1949. Ia juga berperan dalam dunia pendidikan -- Tatengkeng merupakan salah satu pendiri Universitas Hasanuddin.

Semenjak 1953, Tatengkeng yang pernah dipenjara oleh Jepang ini[5] mulai jarang menulis. Namun, ini bukan berarti ia tidak menulis sama sekali. Kehidupan seorang sastrawan tidak pernah lepas dari kertas dan pena. Maka sangatlah riskan untuk menyebutkan aktivitas kepenulisannya terganggu dengan kegiatannya di dunia politik. Umumnya, para penulis akan menggunakan kertas-kertas untuk mencorat-coret. Bukan tidak mungkin bila Tatengkeng turut melakukan hal ini. Perkaranya, seberapa banyak yang tersisa?

Bagaimanapun juga, sejumlah sajaknya yang terbit setelah 1953 menunjukkan bahwa ia masih melakukan aktivitas kepenulisan.

Jan Engelbert Tatengkeng meninggal dunia pada 6 Maret 1968. Ia dimakamkan di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan. Kepergiannya 39 tahun yang lalu itu rasanya pantas direlakan dan dihargai. Ia menjadi satu-satunya sastrawan pada masanya yang menyatakan imannya kepada masyarakat Indonesia lewat jalur sastra. Suatu jejak yang patut disyukuri. Sentuhannya yang sangat khas, rasanya sulit dicari tandingannya pada masa kini.

Kumpulan puisinya yang terkenal ialah "Rindu Dendam" yang berisi 32 sajak yang ia tulis. Karya ini aslinya diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1934 dan diterbitkan oleh Chr. Derkkerij "Jawi".

Karya-karya lainnya dapat disebutkan di sini.

Dalam majalah Pujangga Baru

  • "Hasrat Hati"
  • "Anak Kecil"
  • "Laut"
  • "Beethoven"
  • "Petang"
  • "Alice Nahon"
  • "O, Bintang"
  • "Gambaran"
  • "Sinar dan Bayang"
  • "Katamu Tuhan"
  • "Sinar di Balik"
  • "Willem Kloos"
  • "Tangis"

Dalam majalah lain

  • "Anak Kecil"
  • "Penumpang kelas 1"
  • "Gadis Bali"
  • "Aku Berjasa"
  • "Gua Gaja"
  • "Cintaku"
  • "Ke Balai"
  • "Mengheningkan Cipta"
  • "Sekarang Ini"
  • "Aku dan Temanku"
  • "Sinar dan Bayang"
  • "Kepada Dewan Pertimbangan Kebudayaan"
  • "Aku Dilukis"
  • "Sang Pemimpin (Waktu) Kecil"
  • "Bertemu Setan"

Prosa

  • "Datuk yang Ketularan"
  • "Kemeja Pancawarna"
  • "Prawira Pers Tukang Nyanyi"
  • "Saya Masuk Sekolah Belanda"
  • "Sepuluh Hari Aku Tak Mandi"

Drama

"Lena". Sulawesi. No. 1. Tahun 1. 1958

Catatan akhir

  1. Mungkin ini pula yang menyebabkan sastra Indonesia tidak dirasa dekat dengan kekristenan. Di satu sisi, tidak banyak universitas Kristen yang membuka program studi sastra Indonesia, khususnya di Indonesia bagian barat.
  2. Salah satu yang sempat saya ingat sebagai sastrawan kontemporer ialah Saut Sitompul. Kumpulan puisinya berjudul "Kongres Kodok". Beberapa puisinya disajikan dalam bentuk yang cukup unik. Hampir seperti karya Sutardji Calzoum Bachri yang menyerupai mantra. Namun, di beberapa puisi ia menyertakan notasi angka untuk dilagukan.
  3. "Tachtigers" ini tidak hanya diidentikkan dengan negara Belanda saja, tetapi juga negara-negara lain yang menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantarnya, seperti Belgia, Suriname, Antila Belanda, termasuk mereka yang berada di Indonesia pada masa itu (Wikipedia 2007).
  4. Pujangga Baru mulanya hanya merupakan nama majalah sastra dan kebudayaan yang dikelola oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Sanusi Pane. Sempat terbit antara 1933 sampai Jepang melarangnya, majalah ini terbit kembali pada 1945.
  5. Pada masa pendudukan Jepang, Tatengkeng pernah dipenjara oleh Jepang tanpa alasan yang jelas (Wasono 1997). Kemungkinan karena aktivitasnya yang dinilai memberi efek negatif terhadap pendudukan Jepang kala itu. Saat itu, aktivitas kesusastraan harus dilakukan secara bawah tanah karena Jepang melarang kegiatan tersebut.

Daftar Bacaan:

1. Dunia Sastra. Tanpa Tahun. Sejarah Singkat tentang Pujangga Baru, dalam http://www.duniasastra.com/
Catatan: Alamat URL sudah tidak berfungsi lagi.

2. Esten, Mursal. Tanpa Tahun. J.E. Tatengkeng, dalam Sajak-Sajak Tanah Air, http://www.geocities.com/paris/
Catatan: Alamat URL sudah tidak berfungsi lagi.

3. Mizamunir. Biodata Sastrawan 1900--1949, dalam http://mizamunir.multiply.com/.

4. Puitika. 2007. J. E. Tatengkeng, dalam http://puitika.net/.

5. Wasono, Sunu. 1997. Guru Sejati yang Pernah Digebuk Jepang, dalam Sisipan Kakilangit Majalah Horison, Oktober 1997. Hal. 11.

6. Wikipedia. 2007. Tachtigers, dalam http://en.wikipedia.org/.

 

Sumber: Bio-Kristi 13

Komentar


SABDA Live



Alkitab SABDA


Cari kata atau ayat:

Kamus SABDA


Media Sosial

 

Member login

Permohonan kata sandi baru