Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Bio-Kristi

You are here1894 -- 1933 / Johanna Veenstra

Johanna Veenstra


Hal yang paling mencolok dari peranan wanita bujang dalam pelayanan misi ke luar negeri mungkin adalah profesi mereka [sebagai misionaris] itu sendiri. Hal ini juga berlaku untuk para pria. Namun berbeda dengan misionaris wanita, seorang [misionaris] pria harus unggul. Dia harus mencapai suatu prestasi dalam pelayanan misinya untuk bisa dianggap "pahlawan misionaris". Tapi seorang wanita, terutama wanita bujang, bisa menjadi "pahlawan [misionaris] wanita" hanya dengan berani menjadi pelopor misionaris asing. Itulah yang dialami oleh Johanna Veenstra yang merupakan wakil dari begitu banyak wanita bujang yang pergi ke luar negeri setelah pergantian abad [ke-20].

Johanna, yang berulang kali disebut oleh penulis biografi yang mengaguminya (Almarhum Henry Beets, Direktur Mission of the Christian Reformed Church) sebagai "pahlawan wanita", berubah dari seorang stenograf yang tidak dikenal menjadi seorang selebriti lokal (di Grand Rapids, Michigan, dan Paterson, New Jersey), tapi tidak ada yang luar biasa dalam pelayanan misinya. Walaupun demikian, hidupnya menjadi contoh dari pengorbanan dan harapan-harapan yang diletakkan di pundak "pahlawan-pahlawan iman wanita" lainnya.

Johanna lahir di Paterson, New Jersey pada tahun 1894, 2 tahun sebelum ayahnya, William Veenstra, berhenti menjadi tukang kayu dan mempersiapkan diri untuk menjadi pelayan Tuhan. Akibatnya, keluarganya pindah ke Grand Rapids, Michigan. Di sana William Veenstra masuk Theological School (sekarang Calvin College and Seminary) untuk dilatih menjadi pendeta Gereja Kristen Reformed. Saat kelulusan, dia ditahbiskan dan bersedia diutus ke gereja pedesaan di sebelah barat Michigan. Delapan bulan kemudian dia terkena demam tifus dan meninggal. Kematiannya membuat istri dan keenam anaknya yang masih kecil mengalami kesulitan dan jatuh miskin. Kemudian istrinya segera kembali ke Paterson dan membuka toko kelontong di sana. Johanna masuk sekolah Kristen sampai dia berumur 12 tahun dan kemudian masuk sekolah bisnis selama 2 tahun. Saat berumur 14 tahun, untuk membantu keluarga, dia menjadi stenograf di New York. Setiap hari, dia pulang pergi dari Paterson ke New York.

Meski cobaan kekayaan dan kesenangan duniawi sempat menghampirinya, dia adalah pemudi yang serius dan waktu luangnya banyak diisi dengan kegiatan gereja di Gereja Kristen Reformed. Suatu kali saat beribadah di sebuah gereja Baptis, dia menjadi percaya kepada Kristus -- suatu hal yang diharapkan ibu dan pendetanya terjadi di gereja asalnya [gereja Reformed].

Setelah pertobatannya, ia terlibat dalam pekerjaan misi, dan pada umur 19 tahun dia masuk Union Missionary Training Institute di New York untuk mempersiapkan diri menjadi misionaris kota. Tapi, sebelum dia lulus, dia ditantang akan kebutuhan misi di luar negeri dan langsung melibatkan diri ke Sudan United Mission (SUM), organisasi nondenominasi yang berkomitmen untuk menghentikan penyebaran agama Islam di benua Afrika. Karena kebijakan organisasi, Johanna harus menunggu 3 tahun sampai dia berumur 25 tahun agar bisa melayani di luar negeri, jadi dalam penantiannya itu, dia kembali ke Grand Rapids. Di sana dia bekerja dengan lembaga misi kota dan bersekolah lanjut di Universitas Calvin. Di sana ia menjadi anggota wanita pertama Student Volunteer Board. Sebelum berlayar ke Afrika (dari Inggris) dia kembali ke New York untuk belajar tentang kedokteran dan lulus dari kursus kebidanan.

Tugas Johanna di SUM meliputi pelayanan perintisan di Lupwe, tidak jauh dari Calabar (tempat Mary Slesor melayani dengan penuh iman beberapa tahun sebelumnya). Daerah tempat tinggal bagi misionaris di Lupwe masih baru dan hanya terdiri dari beberapa gubuk yang belum selesai dibuat dan tidak dilengkapi perabot serta lantainya yang kotor. Tapi Johanna cepat beradaptasi dengan kondisi primitif itu. Semut putih begitu menjengkelkan, tapi dia bisa mengatasinya. Tikus-tikus pun demikian menyebalkan, tapi dia tidak mengeluh. Harapan yang diletakkan di pundaknya begitu tinggi dan jika pelayanan misinya tidak sesuai dan terlaksana seperti yang dia impikan, dia tidak pernah membayangkan memiliki pikiran lain: "Aku sama sekali tidak pernah menyesal meninggalkan 'kehidupan yang gemerlap dan hingar-bingar' di New York dan datang ke sudut gelap kebun anggur Tuhan ini. Tidak ada pengorbanan apa-apa [dariku] karena Yesus sendirilah teman sejatiku."

Seperti wanita bujang pada umumnya, pekerjaan Johanna beragam. Salah satu proyeknya adalah mendirikan sekolah asrama untuk melatih para pemuda sebagai penginjil, sekolah yang diikuti 25 orang sekaligus. Meski proyek itu memakan banyak waktu, dia masih memunyai waktu untuk pelayanan medis dan penginjilan. Kadangkala, perjalanannya ke desa-desa tetangga membutuhkan waktu beberapa minggu, diiringi kesuksesan dan kegagalan yang datang silih berganti. Keberhasilan itu tak tampak dari penampilan luar para petobat. Johanna adalah seorang pelopor yang meletakkan pekerjaan awal pemberitaan Injil, oleh karena itu mendapatkan pendengar yang penuh perhatian saja sudah menjadi tanda kesuksesan yang utama.

Tapi pada "kesempatan-kesempatan langka" dia melihat "orang-orang menangis saat mereka mendengar kisah kematian Tuhan kita" dan "berdecak kagum dan bertepuk tangan tanda bersyukur kepada Allah karena karunia-karunia-Nya," ada saat-saat yang mengecilkan hati juga:

Suatu kali saya berjalan melewati bukit-bukit, berjalan dari satu tempat ke tempat lain selama 9 hari.... Kami berencana untuk tinggal seharian pada hari Minggu di suatu desa tapi kami tidak diterima. Mereka tidak mau menyediakan makanan bagi para pembawa barang dan siapa pun yang bersamaku. Makanya mereka sangat kelaparan. Hujan menghalangi orang-orang datang ke pertemuan. Aku duduk di ambang pintu gubuk dengan payung supaya aku tetap kering, sementara orang-orang berkumpul bersama-sama di dekat perapian di dalam gubuk. Minggu siang, hujan badai datang. Hujan turun dengan derasnya. Gubuk tempat aku tinggal berdinding jerami, dan air hujan masuk ke dalam sampai seluruh gubuk penuh dengan air.... Pagi-pagi benar keesokan harinya kami mulai berjalan lagi menuju bukit yang lain.... Sang kepala suku berada di rumah, tapi dia sakit. Kami berhenti di sana semalam dan memutuskan untuk pulang. Betapa bahagianya kami melihat Lupwe.

Kendaraan yang biasa dipakai Johanna dari satu desa ke desa yang lainnya adalah sepeda, tapi mengayuh sepeda melewati daerah terjal itu sangat lamban dan melelahkan, apalagi mengetahui tubuhnya cukup gemuk. Diam-diam ia iri kepada para misionaris pria yang lalu-lalang dengan mudah dengan mengendarai sepeda motor. Maka, segera setelah cuti keduanya tahun 1932, dia kembali ke Afrika dengan membawa sepeda motor baru. Penampilan keibuannya benar-benar membuat penasaran saat dia memulai perjalanannya naik sepeda motor ke pedalaman melewati jalan-jalan yang tidak rata, dan tidak seorang pun meragukan keberaniannya. Meski pada awalnya dia sangat bersemangat dan mantab, dia segera menyadari bahwa mengarungi bukit dengan sepeda motor itu tidak cocok untuknya. Belum sampai jarak 65 km, tiba-tiba dia menabrak gundukan tanah dan terlempar dari sepeda motornya. Karena trauma secara fisik dan psikis, ia meminta pertolongan dan tidak mau naik sepeda motor lagi.

Meski Johanna rela tinggal di gubuk penduduk pribumi dan menerima orang Afrika apa adanya, dia selalu mempertahankan kemampuan unggulnya yang melebihi orang-orang yang bekerja dengannya. "Merupakan hal yang penting," tulisnya, "penginjilan terus mempertahankan sikap unggul. Bukan berarti merasa bahwa 'kami lebih baik daripada Anda.' Sekali-kali tidak! Tapi lebih pada rasa mengakui dan menggunakan otoritas. Namun sikapnya yang seperti itu mengakibatkan kebencian yang besar yang berujung pada revolusi yang kacau di belahan dunia selama beberapa dekade berikutnya. Tapi selama tahun 1920-an dan 1930-an, saat Johanna mengabdikan hidupnya untuk Afrika, sepertinya tidak ada rasa benci yang terlihat. Pelayanan medisnya sangat dihargai dan bersekolah di asramanya dianggap sebagai kesempatan yang istimewa. Oleh karena itu, penduduk Lupwe dan desa-desa tetangganya sangat sedih ketika mereka mendapat kabar bahwa misionaris mereka meninggal pada tahun 1933. Ia masuk rumah sakit misi untuk menjalani operasi yang dianggap operasi rutin, namun ia tidak pernah pulih.

Di Paterson dan Grand Rapids, kabar tersebut terdengar oleh keluarga dan teman-temannya dengan rasa tidak percaya dan penuh kesedihan. Tapi mereka adalah orang-orang Kristen Reformed yang takut akan Tuhan yang tidak pernah mempertanyakan kedaulatan Allah dalam hal itu [kematian]. "Pahlawan wanita" mereka telah dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi dan sekarang menikmati kekayaan yang jauh lebih banyak daripada yang sudah ia lepaskan di dunia. Yang menyedihkan, sepucuk surat yang datang darinya setelah kematiannya, meski berbicara tentang seorang Kristen Afrika yang baru meninggal, tapi judulnya cocok untuk Johanna sendiri, "From a Mudhut to a Mansion on High (Dari Gubuk Jelek ke Rumah Besar di Tempat Tinggi)."

Diambil dan diedit dari:

Judul artikel : Johanna Veenstra
Nama situs : e-Misi
Penulis : Tidak dicantumkan
Alamat URL : misi.sabda.org
Tanggal akses : 22 Juni 2010

Komentar


SABDA Live



Alkitab SABDA


Cari kata atau ayat:

Kamus SABDA


Media Sosial

 

Member login

Permohonan kata sandi baru