Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Bio-Kristi
You are hereTeolog / Karl Barth
Karl Barth
Karl Barth adalah salah satu pakar teologi yang dikenal paling berpengaruh. Ia seringkali diakui sebagai pakar teologi Protestan terhebat pada abad ini. Kontribusi terbesar beliau adalah perubahan radikal dari arah teologi orientasi abad ke-19 ke arah pembaharuan pemahaman ortodoks yang menangani realitas kehidupan yang suram pada abad ke-20. Penolakannya terhadap teologi liberal menyebabkan tekanan pada eskatologi dan hal-hal gaib (supernatural) dalam kekristenan. Dia menolak segala perpaduan antara gereja dengan budaya, dan menekankan perlawanan radikal antara Tuhan dengan manusia.
Artikel Terkait
Karl Barth lahir di Basel, Swiss, pada 10 Mei 1886. Ia dibesarkan di Bern dimana ayahya, Fritz Barth, pendeta reform asal Swiss dan professor Perjanjian Baru dan sejarah gereja mula-mula, diajarkan. Dari 1904 - 1909, Barth belajar teologi di Bern, Berlin, Tübingen, dan Marburg. Di Berlin ia ambil bagian dalam seminar yang diselenggarakan oleh seorang teolog liberal, Adolf von Harnack, dan di Marburg ia di bawah pengaruh Wilhelm Herrmann dan tertarik dengan karya Friedrich Schleiermacher.
Barth masuk ke pelayanan jemaat gereja dari 1911 sampai 1921 (pertama sebagai asisten pendeta di Genewa, lalu menjadi pendeta di gereja yang jemaatnya adalah para pekerja di Safenwil). Pada tahun 1913 ia menikahi Nelly Hoffman, pemain biola yang berbakat; mereka dikaruniai lima anak. 10 tahun di Safenwill merupakan tahun-tahun pertumbuhannya. Dalam periode ini, Barth mengalami perubahan dari Kekristenan budaya. Barth segera menyadari bahwa dia sering berkotbah di depan jemaat gereja yang jumlahnya tidak lebih dari satu lusin. Suatu hari ia mengunjungi seorang jemaat, seorang bapak tua yang sedang sakit. Ketika Barth bertanya dimanakah bapak itu bergereja, pria itu dengan marah menjawab: "Pak Pendeta, saya selalu menjadi orang yang jujur. Saya tidak pernah ke gereja, dan saya juga tidak pernah berurusan dengan polisi." Barth mengenali bahwa pria tua ini adalah cerminan dari mayoritas penduduk dalam masyarakat itu yang memiliki pola dasar yang sama dalam hal jarangnya hadir dalam ibadah gereja dan tidak tertarik terhadap agama gereja. Dalam konteks ini, Barth diyakinkan untuk mempertimbangkan lagi "budaya Kekristenan" yang digambarkan oleh teologi liberal dimana ia pernah dilatih.
Saat ia di Safenwil selama Perang Dunia I itulah ia meninjau ulang teologinya bersama-sama dengan pendeta sekitar dan teman mahasiswa, Eduard Thurneysen, yang juga sedang mengalami krisis yang hampir sama. Barth terkejut melihat tingkah laku guru-guru liberalnya ketika mereka berhadapan dengan situasi sosial dan politik di zaman perang Eropa. Ia membacakan "Declaration of German Intellectuals," yang menyerukan sumpah setia kepada Kaiser dan Vaterland. Bagaimana ini bisa terjadi? Itu terjadi, katanya, karena hubungan yang membahayakan antara iman Kristen dan pengalaman budaya.
Dia mulai memelajari masalah-masalah yang ada akibat perang dan kegagalan teologi liberal sebagai catatan episode tergelap dari sejarah peradaban manusia. Dia memrakarsai adanya perubahan radikal dalam teologi, yang menekankan "kesatuan Tuhan yang lain" dalam teologi liberal antroposentrisme abad ke-19. Dia memertanyakan teologi liberal guru-guru Jermannya dan ketergantungannya terhadap rasionalis, pendukung sejarah, dan pemikir dualis yang berakar dari Pencerahan. Barth meyakini bahwa teologi liberal telah menyesuaikan Kekristenan dengan budaya modern, dan itu perlu diubah.
Sadar bahwa pemahaman teologi yang telah diajarkan perlu untuk dia sampaikan kepada jemaatnya, Barth meninjau lagi filosofi dan pemahaman teologinya. Itulah awal permulaan periode pembelajaran teologi, khususnya mempelajari Alkitab. Dia menemukan bahwa di dalam Alkitab ada "dunia baru yang berbeda": Alkitab kita bukan mengenai agama, moralitas, atau sejarah, tetapi mengenai Kerajaan Allah. Kenyataan Alkitabiah ini hanya dapat dipaham dengan menghidupinya.
Pada tahun 1916 Barth mulai menjalankan riset mengenai Surat Paulus kepada Jemaat di Roma. Hasil dari usaha itu menjadi karya besarnya yang pertama, Surat Roma (dipublikasikan pertama kali tahun 1919 kemudian ditulis ulang dan diselesaikan tahun 1922.), dimana ia membantah pendapat penganut teologi liberal yang beranggapan bahwa Alkitab kurang lebih berisi mengenai laporan sejarah pengalaman manusia beragama dan mereka yang hanya tertarik pada sejarah kepribadian Kristus. Menurut Paulus, bantah Barth, Tuhan menghukum semua manusia yang sudah dikuburkan dan hanya menyelamatkan mereka yang tidak percaya pada diri sendiri melainkan hanya percaya pada Tuhan. Barth memperdebatkan bahwa dalam Injil terdapat "pemikiran-pemikiran yang hebat mengenai manusia, bukan pemikiran manusia mengenai Tuhan." Tuhan adalah Tuhan dan Ia telah membawa keselamatan bagi kita.
Kitab Roma lebih dari sekedar penjelasan karena Roma adalah suatu kotbah yang sangat luas, padat, dan yang membangkitkan semangat. Di dalamnya, Barth merefleksikan apa yang nantinya ia sebut sebagai "Ketuhanan Tuhan." Bagaimana Tuhan memandang manusia itu lebih penting dari pada apa yang manusia pikirkan mengenai Tuhan. Pengetahuan manusia bisa membawa kita kepada kekosongan, penantian dan ketidakpuasan. Tuhan, Allah yang hidup, telah datang untuk membebaskan manusia yang bingung dan menentang diri sendiri seperti dirinya, dari dosa. Dalam buku ini, Barth menekankan terputusnya pesan Kristiani dan dunia. Tuhan adalah sesuatu yang lain yang bersifat utuh, dan hanya dikenal dalam pewahyuan. Tugas manusia adalah untuk membentuk dirinya lagi supaya lebih menyerupai gambar Allah, dan bukan sebaliknya.
Studi ini menarik perhatian pakar teologi di mana-mana. Bukunya memisahkan dunia teologi Jerman dan Swiss menjadi pendukung dan penentang. Buku ini mengawali terjadinya kebangunan rohani kaum Kristen Protestan ortodox berdasarkan Alkitab. Terdapat banyak pakar teologi muda yang melihat ekspresi program teologis mereka sendiri dalam buku Roma yang ditulis oleh Barth ini. Para teolog muda itu di antaranya adalah Emil Brunner, Bultmann, George Merz dan Friedrich Gogarten. Pada musim kemarau tahun 1922, Barth, Thurneysen, Gogarten, dan Merz memulai sebuah jurnal berjudul Zwischen den Zeiten (Between the Times(Di Antara Waktu)) yang menjadi organ dari "krisis teologi" yang baru. Jurnal ini memiliki peranan yang penting dalam membentuk teologi Jerman untuk dekade mendatang, sampai akhirnya tidak dilanjutkan pada tahun 1933.
Ciri-ciri umum karya Barth, yang dikenal sebagai neoorthodoxy dan krisis theologi, adalah pada dosa umat manusia, Allah yang terutama dan terpenting, dan ketidakmampuan manusia untuk mengenal Tuhan kecuali melalui pewahyuan. Sifat kritis dari teologinya ini dikenal sebagai "teologi dialectik" atau "teologi krisis". Hal ini mengawali tren yang mengarah pada neoorthodoxy dalam teologi Protestan. Neoorthodoxy Karl Barth sangat menentang Protestan liberal yang menyangkal sejarah pewahyuan. Dia ingin menuntun teologi keluar dari pengaruh filosofi agama modern, dengan penekanannya terhadap perasaan dan kemanusiaan, dan kembali kepada prinsip-prinsip Reformasi dan pengajaran Alkitab. Namun, dia memandang Alkitab bukan sebagai pewahyuan Tuhan yang sebenarnya melainkan sebagai catatan dari pewahyuan itu. Satu-satunya pewahyuan Tuhan hanya terjadi dalam Yesus Kristus. Intinya, Barth menolak dua pendapat utama dalam teologi Protestan pada waktu itu, yaitu: kritik sejarah terhadap Alkitab dan usaha untuk menemukan pembenaran terhadap pengalaman keagamaan dari filosofi dan sumber lainnya. Barth melihat adanya nilai yang sangat berharga dalam level tertentu yang terdapat dalam kritik sejarah, tetapi nilai tersebut seringkali menuntun umat Kristen untuk mengurangi pentingnya kesaksian dari komunitas apostolik tentang Yesus dengan berdasarkan pada iman dan bukan pada sejarah. Teologi yang menggunakan filosofi selalu membela diri dan lebih khawatir dalam membagikan iman Kristen kepada sesama dari pada memperhatikan apa yang Alkitab sungguh-sungguh katakan.
Dalam dasar penerbitan buku Roma (dia tidak pernah mendapatkan gelar doktor), Barth dipilih menjadi profesor di universitas Göttingen, Münster, dan Bonn, secara berturut-turut. Di Göttingen dia melakukan studi mengenai para tokoh besar teolog Protestan yang begitu menguras tenaga. Pada tahun 1927 dia menuliskan usaha pertamanya mengenai dogmatik, "The Doctrine of the Word of God: Prolegomena to Church Dogmatics", (Dotrin Firman Tuhan: Pendahuluan Dogmatik Gereja), dimana dia menyampaikan Firman Tuhan, wahyu Tuhan, Trinitas, inkarnasi, dan Roh Kudus. Ternyata hal ini menjadi "permulaan yang salah." Keterlibatannya dengan isu-isu epistemologi membuatnya menjadi tidak puas dengan apa yang telah dilakukannya. Dia menjadi sadar bahwa dia masih bekerja dalam aliran liberal dan anthropocentric. Ketika dia pindah ke Bonn, dia dipaksa untuk memikirkan kembali seluruh metode teologisnya untuk menghindari tenggelamnya teologi yang dianutnya dalam antropologi eksistensial. Teologinya menggambarkan tanda yang jelas mengenai putusnya hubungan pemikiran dialektik yang dulu dianutnya. Pada tahun 1931 dia melakukan penelitian mengenai St. Anselm, Fides quaerens intellectum.
Pada tahun berikutnya dia menerbitkan bagian pertama dari Church Dogmatics (Dogmatik Gereja)-nya. Selama waktu ini Barth juga menuliskan beberapa komentar-komentar kecil, penjelasan tentang pernyataan rasul-rasul, dan katekismus Heidelberg dan Genewa.
Barth bukan hanya seorang teolog Protestan yang menonjol, namun juga seorang tokoh dalam masyarakat. Dengan naiknya kekuasaan Adolf Hitler di tahun 1933, Barth muncul sebagai pemimpin gereja oposisi, yang disampaikan dalam Barmen Declaration tahun 1934. Pada April 1933, "Evangelical Church of the German Nation" dibuat dan menerbitkan panduan prinsip-prinsip berikut ini:
"We see in race, folk and nation, orders of existence granted and entrusted to us by God. God's law for us is that we look to the preservation of these orders....In the mission to the Jews we perceive a grave danger to our nationality. It is the entrance gate for alien blood into our body politic....In particular, marriage between Germans and Jews is to be forbidden. We want an evangelical Church that is rooted in our nationhood." (Cited in Arthur C.Cochrane, The Church's Confession Under Hitler. Philadelphia, 1962, pp. 222-223)
"Kami melihat dalam berbagai ras, rakyat dan bangsa, tata tertib hidup diberikan dan dipercayakan kepada kami oleh Tuhan. Hukum Tuhan untuk kita adalah supaya kita melihat pemeliharaan tata tertib ini.... Dalam misi yang kita tetapkan untuk bangsa Yahudi, kita mendapatkan lubang yang berbahaya bagi bangsa kita. Lubang itu menjadi pintu masuk bagi darah asing ke badan politik hukum kita.... Secara khusus, pernikahan antara orang Jerman dengan orang Yahudi tidak diperbolehkan. Kita menginginkan gereja Injili yang berakar di bangsa kita." (disebutkan dalam Arthur C. Cochrane, The Church's Confession Under Hitler. (Pengakuan Gereja dibawah penguasa Hitler) di Philadelphia, 1962, Hal. 222-223)
Barth merupakan salah satu pendiri gereja Pengakuan (Confessing church), yang menolak ideologi kebangsaan Nazi mengenai "blood and soil" atau "darah dan tanah" dan usaha untuk membangun sebuah gereja "Kristen Jerman". Pada Mei 1934, perwakilan dari gereja Pengakuan bertemu di Barmen dan hasil dari pertemuan itu adalah 'Barmen Declaration' atau Deklarasi Barmen, sebagian besar berdasarkan draft yang telah dipersiapkan oleh Barth. Draft tersebut mengekspresikan pendiriannya bahwa satu-satunya cara untuk melawan runtuhnya gereja di masa Nazi Jerman adalah dengan berpegang teguh pada doktrin Kristiani yang benar, misalnya memperkokoh kedaulatan Firman Tuhan dalam Kristus terhadap segala ideologi politik musyrik. "Yesus Kristus, seperti yang dia saksikan kepada kita dalam Kitab Suci, adalah Firman Tuhan yang yang harus kita dengarkan, dan yang harus kita percayai dan taati ketika kita hidup maupun mati. Kita menolak doktrin palsu yang menyatakan bahwa gereja bisa dan seharusnya mengenali sumber dari pernyataannya, di luar dan selain Firman Tuhan ini, daripada peristiwa, kekuasaan, tokoh-tokoh sejarah, dan kebenaran sebagai pewahyuan Tuhan.... Kita menolak doktrin yang salah yang mengatakan bahwa ada area tertentu dalam kehidupan kita dimana kita bukan milik Yesus Kristus melainkan milik tuhan lain, area-area dimana kita tidak membutuhkan pembenaran dan penyucian melalui-Nya."
Barth menolak sumpah kesetiaan yang tanpa syarat kepada Hitler yang mengakibatkan dia kehilangan jabatannya di Bonn tahun 1935. Penolakan Barth untuk menuruti perintah dari rektor Universitas Bonn untuk mengakhiri setiap kuliah dengan memberikan penghormatan kepada Jerman untuk sementara waktu mengakhiri karir Barth di Jerman. Barth sendiri menjelaskan mengapa dia menolak untuk taat: "Saya sudah memulai kuliah saya (di musim panas pukul tujuh, di musim dingin pukul delapan) selama dua setengah tahun dengan renungan singkat yang berisi pembacaan dua ayat Alkitab dan nyanyian dua atau tiga bait lagu himne yang dinyanyikan oleh mereka yang hadir. Pengenalan tentang penghormatan kepada Hitler dalam konteks ini akan sangat tidak sesuai dan menyimpang." (Prolingheuer, Der Fall Karl Barth, 240: Letter to Rust 16 Desember 1933).
Dia kembali ke daerah asalnya, Basel, dimana ia tinggal di sana sampai maut menjemputnya, 10 Desember 1968, di usia 82 tahun. Dia terus memperjuangkan penyebab Gereja Pengakuan, dari orang-orang Yahudi,sampai akhir Perang Dunia. Setelah Perang Dunia, Barth diundang kembali ke Bonn, dimana ia menyampaikan kuliah seri yang diterbitkan tahun 1947 dengan judul Dogmatics in Outline (Kerangka Dogmatik). Dia berpidato pada pertemuan pembukaan Conference of the World Council of Churches (Konferensi Dewan Gereja Seluruh Dunia) di Amsterdam tahun 1948. Selanjutnya pada Second Vatican Council (Dewan Vatikan yang Kedua) (1962-65), dia mengunjungi Roma dimana dalam kunjungan itu ia menulis di Ad limina apostolorum. Dia menjadi pengunjung rutin penjara di Basel (Deliverance to the Captives, 1959).
Dari tahun 1932 sampai 1967 ia mengerjakan Dogmatik Gereja, karya multivolume yang belum selesai ketika ia meninggal dunia. Karya tersebut terdiri dari 13 bagian dalam 4 volume, dan jika digabungkan jumlahnya menjadi lebih dari 9000 halaman. Walaupun ia mengubah beberapa pekerjaan terdahulunya, dia tetap mempertahankan bahwa tugas teologi adalah untuk membuka firman yang ditegaskan dalam Alkitab, dan bahwa tidak ada tempat untuk teologi alam atau pengaruh agama-agama non-Kristen. Teologi yang dianut Barth bergantung pada perbedaan antara Firman (yaitu Pewahyuan Tuhan sendiri yang secara konkrit dimanifestasikan melalui Kristus) dan agama. Agama, menurut Barth, adalah usaha manusia untuk menggapai Allah dan berlawanan dengan pewahyuan, dimana Tuhan telah datang kepada manusia melalui Kristus."Agama adalah musuh iman." "Agama adalah usaha manusia untuk dapat berhubungan erat dengan Tuhan dengan menggunakan istilah istilahnya sendiri."
Kritik
Teologi Barth menitik beratkan pada kritik selama masa hidupnya dan pada dekade selanjutnya.
-
Beberapa memperdebatkan bahwa dia terlalu negatif dalam menggambarkan manusia dan terlalu sempit dalam memberi batasan pewahyuan terhadap tradisi alkitabiah, dengan mengesampingkan agama non-Kristen.
-
Beberapa yang lain menuduhnya atas sempitnya pemikiran intelektualnya. Dia hanya memunyai sedikit ketertarikan terhadap bidang lain dan tidak tertarik sama sekali dengan agama lain.
-
Pembelajaran berkenaan dengan Alkitab yang berlebihan. Dia dituntut untuk menerima hak kekuasaan tentang pengetahuan penting yang alkitabiah tetapi secara prakteknya, ia tidak menggunakannya sama sekali.
-
Dogma yang begitu besar. Mascall mengatakan bahwa dibutuhkan waktu yang panjang untuk membaca satu kata teologi sampai-sampai tidak ada waktu untuk membaca Firman itu sendiri. Gayanya begitu megah, dan sulit. (t/Hilda)
Diterjemahkan dan disesuaikan dari:
Judul artikel | : | Karl Barth (1886-1968) |
Penulis | : | Zdravko Kujundzija |
Tahun pengambilan artikel | : | 1999 |
Alamat URL | : | people.bu.edu/ |
Dikirim oleh: Zdravko Kujundzija
Sumber: Bio-Kristi 28
- Login to post comments
- 36012 reads